Selasa, 15 Mei 2012

Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO sebanyak 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana ISPA merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh sebanyak 4 juta anak balita setiap tahun (Asrun, 2010).
Angka kematian bayi, balita dan anak merupakan salah satu indikator kesehatan yang sangat mendasar. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)  tahun 2007, menunjukkan bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA di Indonesia adalah sebesar 30,8%, artinya dari 100 bayi meninggal, 30 diantaranya meninggal karena ISPA. ISPA masih merupakan penyebab kematian terbanyak pada balita, yakni sebesar 22,8 % atau sebesar 4,6 kamatian per 1000 balita (Nurhadiyah, 2010).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang utama di Indonesia karena masih tingginya angka kejadianISPA terutamapada anak-anakbalita. Di negara berkembang kesakitan dan kematian akibat ISPA bagian bawah mencapai 25%-50%.Angka kesakitan ini lebih tinggi lagi.
Pneumonia dan bronkiolitis yang merupakan bagian dari ISPA bawah banyak menimbulkan kematian, hingga berperan besar dalam tingginya Angka Kematian Bayi (AKB). Setiap tahun di perkirakan 4 juta anak balita meninggal karena ISPA (terutama pneumonia dan bronkiolitis) di negaraberkembang (Said, 1994). ISPA mengakibatkan sekitar 20%-30% kematian anak balita. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien padasarana kesehatan. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20%-30% kematian yang tersebar umunya adalah karena pneumonia pada bayi berumur kurang dari 2 bulan (Maulana, 2007).
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh keluarga agar balita tidak terkena penyakit ISPA diantaranya adalah dengan menjaga kondisi lingkungan yang bersih dan sehat, immunisasi lengkap dan pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan dan dilanjutkan sampai usia anak 2 tahun Selain itu upaya perawatan di rumah sangatlah penting dalam upaya penatalaksanaan anak dengan infeksi saluran pernafasan akut
Dalam rangka menurunkan Angka Kematian Balita yang disebabkan ISPA, pemerintah telah membuat suatu kebijaksanaan ISPA secara nasional yaitu diantaranya melalui penemuan kasus ISPA balita sedini mungkin di pelayanan kesehatan dasar, penatalaksanaan kasus dan rujukan, adanya keterpaduan dengan lintas program melalui pendekatan MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) di Puskesmas serta penyediaan obat dan peralatan untuk Puskesmas Perawatan dan di daerah terpencil (Alan, 2010).
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian ISPA pada anak bayi dan balita yakni faktor intrinsik (umur, statu gizi, status imunisasi, jenis kelamin) dan faktor ekstrinsik (perumahan, sosial ekonomi, pendidikan) (Muluki, 2003). Risiko akan berlipat ganda pada anak usia dibawah dua tahun yang daya tahan tubuhnya masih belum sempurna. ISPA pada anak dibawah dua tahun harus diwaspadai oleh orang tua, karena dapat menyebabkan kematian (Yulia, 2010).
ISPA yang terjadi pada anak dan bayi akan memberikan gambaran klinik yang lebih jelek bila dibandingkan dengan orang dewasa. Gambaran klinik yang jelek dan tampak lebih berat tersebut terutama disebabkan oleh infeksi virus pada bayi dan anak yang belum memperoleh kekebalan alamiah (Alasagaf dan Mukti, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Djaja (2001), didapatkan bahwa prevalensi penyakit ISPA berdasarkan umur balita adalah untuk usia <6 bulan (4,5%), 6-11 bulan (11,5%), 12-23 bulan (11,8%), 24-35 bulan (9,9%), 36-47 bulan (9,2%), 48-59 bulan (8,0%).
Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit infeksi seperti, Polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar kasus ISPA merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri, dan batuk rejan (Depkes RI, 2011). Dimana status gizi juga dapat mempengaruhi kekebalan tubuh balita karena jika balita menderita gizi buruk dan telah diimunisasi lengkap maka akan terserang penyakit.
Infeksi saluran pernapasan akut adalah penyakit yang menyerang saluran pernapasan terutama paru-paru, termasuk penyakit tenggorokan dan telinga. Infeksi saluran pernapasan akut diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu infeksi saluran pernapasan akut berat (pneumonia berat) ditandai dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam pada saat inspirasi, infeksi saluran pernapasan akut sedang (pneumonia) ditandai dengan frekuensi pernapasan cepat yaitu umur di bawah 1 tahun; 50 kali/menit atau lebih cepat dan umur 1-4 tahun; 40 kali/menit atau lebih. Sedangkan infeksi saluran pernapasan akut ringan (bukan pneumonia) ditandai dengan batuk pilek tanpa napas cepat dan tanpa tarikan dinding dada (Depkes RI, 2011).
Sebagian besar penderita pneumonia adalah bayi dan balita. Balita adalah anak yang berumur di bawah lima tahun, usia ini merupakan awal pertumbuhan untuk menuju ke arah dewasa. Pertumbuhan tubuh ditandai dengan adanya pertambahan sel-sel tubuh, tinggi dan berat badan, perkembangan mental yaitu kesanggupan tubuh untuk menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan serta bertambahnya tingkat kecerdasan. Pertumbuhan dan perkembangan balita memerlukan makanan yang cukup. Makanan yang baik juga dapat meningkatkan prestasi balita.
Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Ada hubungan erat antara tingkat keadaan gizi dengan konsumsi makanan. Tingkat keadaan gizi optimal akan tercapai apabila konsumsi gizi makanan pada seseorang tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh mereka. Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta energi. Kecukupan gizi balita dapat dilihat dari status gizinya (Anwar, 2009).

B.   Rumusan Masalah
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian ISPA diantaranya yaitu status gizi. Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama.
Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”Apakah ada hubungan status gizi dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)pada balit?"

C.   Tujuan Penelitian
1.    Tujuan Umum
Diketahuinya Hubungan Status Gizi Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita 
2.    Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
a.    Mengetahui gambaran Status Gizi dengan Balita
b.    Mengetahui gambaran Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita
c.    Mengetahui hubunganStatus Gizi dengan Kejadian infeksi Saluran Pernapasan Akut